Selamat ulang tahun, Rendra
kataku melalui sepotong sajak lisong
yang terangkum dalam pamflet penyair.
Ahai, hidup sudah demikian mesra
karena itu kita tak perlu lagi menempel
pamflet di marka rambu lalu lintas
atau menulis pemberontakan
melalui coretan-coretan tembok
Matahari masih yang dulu
tapi bumi cepat sekali berubah
Pedagang-pedagang kaki lima
digusur oleh mall-mall yang megah
Bajaj dan dokar musnah
dilumat kereta listrik dan bis-bis mewah
Kita tidak punya lagi desa-desa yang hijau
desa-desa menjadi sepi ditinggal ke luar negeri
hasil tani tak ada harga tapi
biaya hidup melambung tinggi
Kota-kota yang tak ditata rapi itu hilang
ketika musim penghujan datang
lalu muncul lagi seperti kecambah
ketika bumi tak lagi basah
Di senja umurmu aku ingin membaca
sebuah sajak untukmu, Rendra
sajak seorang tua untuk istrinya
Sayang, sekarang musim pemilu
dan puisi tak mungkin laku
maka kita dengarkan saja
orkestra janji-janji palsu
Siapa tak geli dibuatnya?
Kairo, 2009
Catatan: Puisi ini kutulis tanpa catatan tanggal. Puisi ini kumaksudkan sebagai hadiah ulang tahun Rendra yang ke 74 (3 November 2009), tapi Tuhan menghendaki yang lain. “Selamat jalan, Rendra. Semoga bidadari-bidadari surga bersatu menyambutmu di sana.”
KOMENTAR