Menyapa Media, Kali Pertama

26 Mei 2006. Setelah dua tahun hidup mati bersama puisi. Sebuah pesan masuk di YM-ku. “Kawan, puisi kamu ada di SP.” Saat itu, koran SP saja tidak kutahu bentuknya. Aku hanya tahu emailnya dari Bang Damhuri dan aku pun mengirim puisi. Inilah puisi-puisi itu

SUARA PEMBARUAN DAILY


Puisi Leo Kelana

Sepi

Lagu apa pula menyanyi

di tengah malam

pintu bercakap pada dirinya;

yang lelah

yang pasrah Continue reading ‘Menyapa Media, Kali Pertama’

Ketika Cinta Begitu Menggoda

SUARA PEMBARUAN DAILY


Sajak Leo Kelana

Puisi Ulang Tahun

(sewangi melati

kukirimkan puisi ini

untuk Sari Rahmawati)

Hari ini yang adalah ulang tahunmu

kuingin sekali berada di sampingmu

menyanyikan panjang umurnya panjang umurnya,

dan kau tiup lilin sambil hati kita terus saja berdoa

Tapi aku hanya duduk di jendela

memandang jauh ke sana

memandang entah apa

sementara tanganku

tak henti-hentinya

mengusap air mata

“Sayang, maaf bila

tak bisa buatmu bahagia.”

Continue reading ‘Ketika Cinta Begitu Menggoda’

Merayakan Kekalahan, Mengenang Perjuangan

Sepanjang tahun ini, aku merasa benar-benar kalah. Tak satu pun tulisanku tembus media. Seperti ada yang hilang dalam diri ini. Sebagai calon penulis, menjadi hamba media memang bukanlah tujuan. Tetapi, ketika sebuah tulisan dimuat, disiarkan, diapresiasi, maka kita akan mendapat energi baru. Suntikan semangat yang makin menggebu.

Karena itu, sebagai motivasi bagi diri sendiri, aku ingin menampilkan sajak yang pernah menghiasi media tahun lalu.

SUARA PEMBARUAN DAILY


Sajak Leo Kelana

Maut dan Kenangan

Kita sudahi saja

Sampai di sini

Kemas hatimu

Biar kupergi

Jangan ingat tentang kita;

Katamu berkaca

Padahal maut tak pernah bisa

Mengenang apa-apa

Ini hari makin terasa asing

Sore pun lekas menjadi petang

Continue reading ‘Merayakan Kekalahan, Mengenang Perjuangan’

Di Tepi Sungai Nil Aku Duduk Dan Menulis 2

Aku telah sampai di tepi sungai Nil ketika ufuk timur mulai memancarkan sinar terang. Matahari belum muncul tapi bias wajahnya sudah terlihat. Luar biasa! Kekuatan maha besar karya Yang Maha Pencipta. Kekuatan energi cahaya yang memantulkan keindahan ketika bangun dari tidurnya, juga ketika hendak kembali ke peraduan malam. Alangkah agungnya! Alangkah dahsyatnya! Rahasia penciptaan yang menyimpan misteri dan mengundang rasa kagum. Aku jadi berpikir, bagaimana Allah menciptakan matahari: yang kecantikannya justru keluar ketika bangun dari tidur dan ketika hendak tidur lagi? Pagi dan senja yang sangat mempesona. Aku tertawa sendiri mengingat wajahku yang begitu kumuh ketika baru bangun tidur. Tak ada pancaran keindahan sama sekali. Begitu juga ketika hendak tidur lagi: mata yang kerjap-kerjap, wajah yang loyo, juga badan yang tak lagi menyimpan gairah. Manusia hilang pesonanya ketika baru bangun tidur, juga ketika hendak tidur.

Continue reading ‘Di Tepi Sungai Nil Aku Duduk Dan Menulis 2’

Lahirnya Seorang Pengarang

Aku kadang tidak sadar bahwa ada rahasia besar Tuhan dalam setiap titik takdir yang Dia tuliskan di lembar hidupku.

Tuhan mengirimkan mukjizat padaku melalui sebuah kutukan. Aku mulai suka membaca ketika pertama kali jatuh cinta. Umurku delapanbelas tahun waktu itu. Usia yang sungguh terlambat untuk mulai suka membaca, namun sangat tergesa untuk mengenal kata-kata cinta. Apakah membaca bukan mukjizat ketika orang lain mencibir bahwa membaca hanya membuang waktu percuma? Apakah jatuh cinta bukan kutukan ketika tak tahu bagaimana harus mengatakannya?

“Bersyukurlah, Sobat. Jatuh cinta akan membuatmu menjadi manusia paling kreatif di dunia,” hibur Faizin, teman sekelasku. “Kalau kamu takut bertemu pujaan hati, kalau segan mengapelinya, kalau enggan berikirim salam, kenapa kamu tak bikin saja surat cinta.” Plong! Langit seperti terbuka. Tuhan mengirimkan obatnya bagi penyakit jiwaku. Jatuh cinta adalah penyakit jiwa jika tak disampaikan dengan segera! Continue reading ‘Lahirnya Seorang Pengarang’

Di Tepi Sungai Nil Aku Duduk dan Menulis

Bagiku menulis adalah menyulam mimpi menjadi nyata, menyimpan kenangan kusam agar tak termakan lupa, juga menghiasi perjalanan nyawa dengan pendar cahaya. Menulis juga meniru laku malaikat pencatat amal manusia; mengabadikan jejak yang ditapaki. Maka aku menjadi sangat marah ketika seorang calon doktor universitas Al-Azhar; seorang teladan yang dipuja-puji mahasiswa Indonesia di Mesir, berkata dengan congkak dan sinis padaku: “Buat apa jauh-jauh datang ke Kairo jika kamu hanya bercita-cita jadi penulis!” Sungguh, aku ingin sekali menampar pipinya yang ditumbuhi bulu-bulu yang membuatku jijik, seandainya aku tak ingat bahwa sopan santun berada satu tingkat di atas ilmu pengetahuan. Continue reading ‘Di Tepi Sungai Nil Aku Duduk dan Menulis’

Jangan Tutup Mata

Untuk Azhar dan Kadar

Jangan tutup mata

lalu membuang muka ke jendela

sebab maut senantiasa

mengintip di celah-celah doa

kau tertegun melihat keranda

maut datang tanpa tanya

maut tiba tak memberi aba-aba

: di tangan-Nya,

setiap nyawa sepenuhnya binasa

kau mengulur lagi membayar janji

kau menunda lagi bangun pagi

kau kembali berkata esok nanti

padahal maut telah lama

menunggumu di ruang tamu

bangunlah segera

sebab dia membawa

catatan hutang yang mesti

kau lunasi pagi ini

Kairo 2:18 Selasa 23 Juni 2009

Selamat Ulang Tahun, Rendra

Selamat ulang tahun, Rendra

kataku melalui sepotong sajak lisong

yang terangkum dalam pamflet penyair.

Ahai, hidup sudah demikian mesra

karena itu kita tak perlu lagi menempel

pamflet di marka rambu lalu lintas

atau menulis pemberontakan

melalui coretan-coretan tembok

Matahari masih yang dulu

tapi bumi cepat sekali berubah

Pedagang-pedagang kaki lima

digusur oleh mall-mall yang megah

Bajaj dan dokar musnah

dilumat kereta listrik dan bis-bis mewah

Kita tidak punya lagi desa-desa yang hijau

desa-desa menjadi sepi ditinggal ke luar negeri

hasil tani tak ada harga tapi

biaya hidup melambung tinggi

Kota-kota yang tak ditata rapi itu hilang

ketika musim penghujan datang

lalu muncul lagi seperti kecambah

ketika bumi tak lagi basah

Di senja umurmu aku ingin membaca

sebuah sajak untukmu, Rendra

sajak seorang tua untuk istrinya

Sayang, sekarang musim pemilu

dan puisi tak mungkin laku

maka kita dengarkan saja

orkestra janji-janji palsu

Siapa tak geli dibuatnya?

Kairo, 2009

Catatan: Puisi ini kutulis tanpa catatan tanggal. Puisi ini kumaksudkan sebagai hadiah ulang tahun Rendra yang ke 74 (3 November 2009), tapi Tuhan menghendaki yang lain. “Selamat jalan, Rendra. Semoga bidadari-bidadari surga bersatu menyambutmu di sana.”